Senin, 02 November 2009

Antiklimaks Pemberantasan Korupsi

politiksaman. com, Pada sore hari, 29 Oktober 2009, dua anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Bibit dan Chandra, ditahan oleh mabes Polri. Dalam penjelasan persnya, pimpinan Polri menegaskan bahwa penahanan ini dilakukan karena dua alasan; subjektif dan objektif.

Alasan obyektif antara lain ancaman hukuman di atas lima tahun serta telah terpenuhinya alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. Alasan subyektif adalah agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi perbuatannya.

Hanya saja, terkait dengan alasan subjektif ini, salah satu alasan utama Polri untuk menahan dua pimpinan KPK itu adalah seringnya mereka menggelar konferensi pers, dan cenderung berusaha menggiring opini publik untuk menguntungkan KPK.

Terkait persoalan ini, presiden SBY sendiri sudah menjelaskan sikap politiknya, yang disampaikan oleh Menkomimfo, Tifatul Sembiring. Menurut penjelasan Tifatul, presiden tidak akan campur tangan dalam persoalan penahanan Bibit-Chandra ini. Selain itu, presiden juga menegaskan bahwa dimensi penahanan ini bukan konflik antar lembaga; Kepolisian versus KPK.

Presiden Terlibat

Dalam penjelasannya di Sriwiya Post, Adhie Massardi menegaskan bahwa penahanan dua anggota KPK ini, Bibit dan Chandra, pasti mendapat restu presiden. Pasalnya, berdasarkan pengalamannya sebagai jubir di era Gusdur, presiden sebagai penanggung jawab tertinggi setiap persoalan politik dan hukum, pasti mendapat laporan dari bawahannya.

Dengan begitu, menurut keyakinan Adhie Massardi, setiap tindakan bawahannya pasti sudah dikonsultasikan lebih dahulu dengan presiden. Sangat aneh, misalnya, bila sebuah persoalan yang punya konsekuensi politik dan hukum seperti ini, justru tidak diketahui oleh presiden atau tidak berada di bawah kewenangan presiden.

Sebelum penangkapan ini, Polisi dan KPK memang terlibat dalam perseteruan panjang, beberapa kalangan menyebutnya pertarungan cicak versus buaya. Namun, untuk memahami makna perseteruan ini, ada baiknya melihat beberapa peristiwa hukum dan politik yang terlihat berkorelasi dengan kejadian ini.

Patut memahami kasus skandal bank century. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari wapres sekarang ini, Budiono, menteri keuangan, Sri Mulyani, dan beberapa petinggi Polri, Susno Duadji, diduga terlibat dalam skandal memalukan ini.

Ada desakan kuat dari publik ketika itu, agar supaya persoalan dana century ini segera diungkap dan dituntaskan. Pada saat itu, setelah BPK yang didorong untuk ambil bagian untuk mengaudit, maka bola “harapan” rakyat pun diserahkan kepada KPK, agar mengambil alih penyelesaian kasus ini. KPK pun mulai bergerak, dan nama Susno Duadji pun terkuak.

Menghadapi “gerakan” KPK, Polri pun menggelar “counter-action”, sebuah tindakan preventif terhadap pergerakan KPK ini. Polri pun mencegat dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, terkait dugaan penyalah-gunaan wewenang dalam menerbitkan dan mencabut status cegah (larangan ke luar negeri), khususnya pencegahan terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan sekaligus pencabutan cegah terhadap pengusaha Djoko Tjandra.

Tak hanya itu, seperti dilangsir oleh pemberitaan ANTARA, Mabes Polri juga menuding kedua pimpinan KPK itu menerima suap dan atau memeras pengusaha Anggoro Widjojo yang sedang terjerat kasus korupsi di KPK.

Perseteruan terus bergulir, dan presiden tidak menjadi penengahnya, malah terkesan mau berposisi diluar persoalan ini. Ini berpuncak pada munculnya dokumen “15 juli 2009”, yang ditantangani Anggodo Widjojo dan Ari Muladi. Dokumen sebanyak sepuluh halaman itu menguraikan kronologi dugaan suap kepada sejumlah petinggi KPK.

Anehnya, ada kesamaan substansi antara dokumen 15 juli, seperti yang ditunjukkan Fx. Lilik Dwi Mardjianto di harian ANTARA, dengan pernyataan Kapolri Bambang Hendarso Dahuri 25 September 2009, meski Kapolri mendasarkan pernyataannya dari laporan polisi yang dibuat mantan ketua KPK, Anthasari Ashar.

Puncaknya, kemudian, adalah tersebarnya sebuah transkrip pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dan mencatut sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Polri, Kejagung, hingga RI1 (baca, presiden).

Dalam transkrip percakapan tersebut, diduga ada upaya rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang saat ini sudah diberhentikan sementara karena sudah berstatus tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan dugaan menerima suap.

Presiden pun gerah dengan pencatutan namanya dalam transkrip itu, dan memerintahkan Polri untuk mengusut pelaku penyebaran transkrip ini. Ini sangat janggal, sebab presiden bukannya memerintahkan penyelidikan, malah mengambil kesimpulan terlalu dini, bahwa transkrip itu hasil rekayasa. Akhirnya, kepolisian pun berpendapat begitu, bahwa transkrip ini rekayasa.

Ini sangat janggal, sebab tidak disertai pengujian dan penelitian. Sebelumnya, polisi bisa memastikan bahwa sebuah website teroris di blogspot adalah resmi, meskipun banyak kejanggalan, sementara sebuah transkrip, yang dihasilkan dari penyelidikan kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT), tiba-tiba dianggap rekayasa. Ini menggelikan sekali.

Presiden Berpihak Kemana?

Perang opensif yang dilancarkan oleh aliansi Polri-Kejagung terhadap KPK, merupakan anti-klimak terhadap upaya formal pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, dua lembaga penegak hukum, yakni Polri dan kejagung, sudah mengalami krisis kredibilitas dihadapan rakyat, sementara KPK pamornya sedang naik.

Berdasarkan data Indonesian Corruption Wacth (ICW), sejak tahun 2005 hingga tahun 2008, dari 1.421 terdakwa kasus korupsi yang diproses di pengadilan umum, sebanyak 659 terdakwa divonis bebas dan sebagian yang lain divonis ringan. Hal itu sangat kontras dengan penanganan kasus korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dimana KPK menjadi pengasuhnya, justru belum pernah memutus bebas seorang terdakwa pun.

Dalam temuan survey Transparansi Indonesia (TI), misalnya, diketahui bahwa aparat penegakan hukum di Indonesia, khususnya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, kurang dipercaya oleh masyarakat. Sementara itu, berdasarkan perbandingan dengan pengadilan 11 negara asia lainnya, pengadilan Indonesia adalah yang paling buruk.

Dengan begitu, usaha menjatuhkan KPK berarti usaha untuk melemahkan usaha pemberantasan korupsi, sebuah usaha untuk memberi angin segar kepada sejumlah koruptor kelas kakap di Indonesia, yang selama puluhan tahun sulit disentuh hukum.

Meskipun belum melumpuhkan KPK secara kelembagaan, tetapi berbagai opensif ini betul-betul menjatuhkan moril perjuangan KPK untuk menggulung para koruptor. Dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini, ditambah tidak adanya pembelaan presiden, KPK benar-benar terjerembab dalam tekanan luar biasa.

Dalam situasi itu, sebetulnya, presiden berada di dalam dua pilihan; menyelematkan moral pemberantasan korupsi, atau membiarkan pemberantasan korupsi terlempar ke belakang.

Namun, dari berbagai pernyataan politik presiden hingga akhir ini, sepertinya presiden mengambil langkah pembiaran, dan berarti membiarkan agenda pemberantasan korupsi terpental ke belakang. Untuk ini ada beberapa alasan;

Pertama, Presiden punya kekuasaan politik yang besar untuk mengintervensi kasus ini dan menyelamatkan KPK. Ini bisa menjadi tindakan politik yang populer, sebab harapan rakyat untuk pemberantasan korupsi sedang berada di lembaga KPK, bukan di kepolisian, apalagi kejagung yang terkenal korup.

Akan tetapi, seperti diketahui, presiden tidak menggunakan sama sekali kekuasaan politik tersebut, sementara publik sangat mengharapkan itu. Kita perlu mengetahui apa motif di balik pembiaran ini?

Kedua, secara diam-diam, ternyata presiden dan pendukungnya di parlemen sedang mempersiapkan RUU Tipokor, yang oleh banyak pihak, dinilai justru memperlemah peran dan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Hal ini jelas mengecewakan publik, khususnya mereka yang sudah gerah dengan perilaku para koruptor. Dalam beberapa derajat, ini juga memutuskan harapan publik bahwa pemerintahan SBY-budiono berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Dengan begitu, sikap presiden ini telah menyuburkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan baru ini.

Rudi Hartono
*) Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pimpinan Redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.

0 komentar:

Posting Komentar

untuk teman-teman yg belum punya web or blog pada bagian kolom "BERI KOMENTAR SEBAGAI" : pilih Name / URL, Kolom nama di isi sesuai nama anda dan pada kolom URL kosongkan saja, demikianlah & terima kasih atas partisifasinya

ARSIP

KONSENSUS

BERANDA

PUISI & SASTRA