Jumat, 22 Januari 2010

Bayang-bayang Otoritarianisme


politiksaman.com-opini (22/01), Sejak reformasi bergulir tahun 1998, kita dipertontonkan sayembara hukum menjerat politik. Setiap kali tuntutan politik berubah, hukum selalu mencoba membingkainya. Lalu politik selalu mencoba keluar dari satu bingkai hukum ke bingkai yang lain.

Karena itulah dalam 3 kali pemilu terakhir kita lalui selalu dengan undang-undang yang baru. Undang-undang yang selalu berubah itu adalah UU Partai Politik, Pemilu legislatif, Pemilu Presiden, disusul dengan UU Susunan Kedudukan MRP, DPR, DPD dan DPRD.

Agaknya yang dicari dari perubahan itu adalah sistem politik yang stabil. Setiap perubahan dianggap sebagai transisi menuju stabilitas. Stabilitas terbaik adalah dimana pemerintahan bisa berjalan efektif. Salah satu ukuran efektivitas itu dilihat dari tidak adanya ketegangan antara Presiden dengan DPR.

Hasil Pemilu 2009 mengarah kepada harmonisnya hubungan antara Presiden dengan DPR karena partai pendukung Presiden adalah sekaligus partai pemenang pemilu yang memiliki suara mayoritas di DPR. Kondisi ini berpotensi menjadikan presiden semakin kuat bahkan cenderung otoriter.

Bila tidak hati-hati esensi politik yang merupakan sarana mengartikulasikan keberagaman tuntutan dapat berubah menjadi monolitik untuk mengorganisasikan kepentingan yang tunggal.

Benih-benih Otoritarianisme

Pemilu 2009 menunjukkan kecenderungan adanya sentralisasi kekuasaan ke tangan presiden. Presiden diusung oleh hampir 60% kursi partai di DPR (PD, PKS, PAN, PKB, dan PPP). Sedangkan blok lain yang sebelumnya bertarung pada pemilihan presiden (PDIP+Gerindra dan Golkar+Hanura) cenderung merapat kepada partai pemenang untuk mendapatkan kursi menteri dan pimpinan lembaga negara. Hampir dapat dipastikan pemerintahan kedepan berlangsung tanpa oposisi yang berupaya menjadi penyeimbang.

Upaya menangani terorisme juga semakin memperkokoh dan membenarkan tindakan represif pemerintah. Saat ini bergulir wacana melibatkan TNI dalam menangani terorisme dengan menghidupkan kembali jejaring TNI sampai ke desa-desa sebagaimana dilakukan oleh Orde Baru. Padahal pola ini banyak dikritik sebagai tindakan negara yang represif karena “menginteli” masyarakatnya sendiri.

Apalagi setelah Presiden SBY memperlihat fotonya yang menjadi sasaran tembak. Sontak rakyat berada dibelakang presiden, mendukung dan membenarkan setiap upaya membasmi teroris.

Mantan Kapolri Da’i Bachtiar yang kini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia menyatakan bahwa Indonesia perlu membuat undang-undang keamanan internal (internal security act) yang dimiliki Malaysia untuk mengatasi terorisme. Undang-undang ini dianggap lebih efektif (baca: represif). Menurutnya teroris takut melakukan aksi teror di Malaysia karena undang-undang tersebut. Tentu alasan simplikatif ini mengandung kekeliruan besar sebab menggap aksi teror dilakukan karena tidak ada undang-undang yang “kejam”.

Praktik dari hasil sentralisasi kekuasaan yang monolitik pasca pemilu 2009 sudah mulai terlihat di dalam undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD 3) yang disetujui Pemerintah dan DPR tanggal 3 Agustus 2009. Pasal 82 UU MD3 menentukan bahwa ketua DPR tidak dipilih oleh anggota DPR melainkan diambil dari partai yang paling banyak memiliki kursi di DPR. Otomatis ketua DPR periode 2009-2014 berasal dari Partai Demokrat.

Komposisi kelembagaan Presiden dan DPR kedepan tidak akan mengalami kendala berarti dalam membuat undang-undang. Tidak akan banyak lagi terdengar DPR menghardik pemerintah dalam sidang interpelasi atau ikut mengoreksi kebijakan pemerintah lewat hak angket.

MK Sebagai Penyeimbang

Sulit berharap DPR mendatang bisa menjadi penyeimbang pemerintah, sebab anggota DPR mayoritas adalah bagian dari orang-orang pemerintah. Satu-satunya cabang yang tersisa, dalam doktrin trias politica, dan bisa diharapkan adalah kekuasaan yudisial, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selama ini dalam studi hukum dan politik, trias politica yang diajarkan oleh Montesquieu lebih banyak dimaknai dalam hubungan kelembagaan negara, padahal ajaran itu bisa ditarik lebih jauh untuk mencegah totalitarianisme negara terhadap rakyatnya.

Bila ditarik pada ranah kehidupan bermasyarakat, konsep trias politica harus mampu menjadikan lembaga yudisial sebagai penyeimbang kekuasaan Negara dengan masyarakat. Tujuannya supaya masyarakat tidak menjadi korban kesewenang-wenangan dari pelaksanaan fungsi ekesekutif dan legislatif. Disanalah letak strategis fungsi MK.

MK lebih strategis berhadapan dengan kekuasaan pemerintah dan DPR karena memiliki kewenangan menguji undang-undang dan menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Dalam enam tahun usia MK di Indonesia sudah 54 undang-undang atau bagian dari undang-undang yang dibatalkan dari 187 putusan pengujian undang-undang yang diputus (Data 29 Agustus 2009 dari Website MK). Hal ini menunjukkan bahwa ada persoalan dalam pembentukan legislasi. Dan kedepan fungsi legislasi itu harus semakin ketat dikoreksi lewat judicial review.

Dalam enam tahun berdiri, MK menjalankan fungsinya untuk mengakselerasi demokrasi. Beberapa putusan MK menampilkan watak progresif, misalkan putusan yang membolehkan calon perseorangan dalam pilkada, putusan suara terbanyak yang meruntuhkan nomor urut calon legislatif, KTP dan Paspor dapat digunakan dalam pemilu, dan putusan berkaitan dengan penghitungan suara. Tentu capaian ini menghadapi tantangan kedepan.

Tugas MK kedepan adalah menyelamatkan negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia dari konfigurasi monolitik Presiden dan DPR.

Persoalannya hakim MK masih dipilih dari 3 lembaga negara. Masing-masing 3 dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedepan mekanisme ini perlu dipertimbangkan agar hakim MK tidak terikat dengan pesan-pesan dari lembaga yang mengutusnya. Sepanjang ini hakim MK masih memperlihatkan independensinya dalam memutus perkara. Namun kedepan perlu menjaga jarak antara MK dengan cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Cara perekrutan hakim melalui lembaga independen seperti Komisi Yudisial kedepan perlu dipertimbangkan.

oleh Yosep Fasa

0 komentar:

Posting Komentar

untuk teman-teman yg belum punya web or blog pada bagian kolom "BERI KOMENTAR SEBAGAI" : pilih Name / URL, Kolom nama di isi sesuai nama anda dan pada kolom URL kosongkan saja, demikianlah & terima kasih atas partisifasinya

ARSIP

KONSENSUS

BERANDA

PUISI & SASTRA