Rabu, 07 Oktober 2009

Catatan Politik Oposisi Oktober 2009

politiksaman.com-Jakarta (07/09) infirmasi persekutuan SBY dengan para mantan rivalnya di pilpres lalu terjadi satu demi satu. Artinya, tak ada oposisi di parlamen. Baik PDIP maupun Gerindra sudah menyatakan "oposisi tidak dikenal dalam konstitusi negara kita". Sementara Golkar dan Hanura tampak seperti yang sudah diniatkan, "tak punya tradisi menjadi oposisi".

Persekutuan setelah ‘debat ideologis' bertemakan neoliberalisme dan kemandirian bangsa ini sebenarnya tidak mengejutkan, namun juga tidak mudah diterima. Mengapa?

Tidak mengejutkan karena politik di Indonesia, seperti yang kita pahami, antara lain melanjutkan politik harmoni orde baru dengan metode yang berbeda. Sudah begitu, seringkali tak ada pula hubungan yang valid antara isi jargon dengan tindakan politik, bahkan tidak dengan persoalan rakyat. Jargon hanyalah senjata untuk menyerang, perisai untuk menangkis, atau baju untuk bercitra. Sementara impian sebenarnya bersembunyi di kabut hati masing-masing. Mungkin juga ada niat baik tersembunyi, taktik klasik bahwa masuk dalam koalisi besar adalah dalam rangka mengkongkritkan ikhtiar bagi kesejahteraan rakyat. Namun pelajaran dari yang sudah-sudah membuat orang segera mahfum akan ‘niat baik' dimaksud. Ini tak mengejutkan, meski terkesan sedikit skeptis.

Karenanya hal ini juga tak mudah diterima, mengingat alternatif menjadi tagihan utang yang tak pernah lunas, dan membutuhkan kerja lebih keras untuk sediakan material atau syarat-syarat yang cukup bagi sebuah perubahan yang radikal. Kebutuhan alternatif tidak sebatas formal bahwa sistem demokrasi yang sehat membutuhkan alteritas (Alois A. Nugroho, Demokrasi Tanpa Alteritas, Kompas 02/09). Dalam posisi formal tersebut kita (rakyat) pasif berpendapat bahwa oposisi harus ada, namun tanpa beban ataupun kemerdekaan untuk berpihak dalam ranah praktis.


Problem Bagi Alternatif

Sementara yang telah berada dalam ranah praktis terdorong untuk terus mencari, alternatif seperti apa yang sanggup dihadirkan setelah 44 tahun berintiman dengan korupsi dan kapitalisme global kemudian beranak-pinak kerusakan pada berbagai sendi.

Kita bukan saja tertinggal, tapi mengalami kemunduran di tengah peta geopolitik dunia yang sedang mengental dan bergeser. Setidaknya, kita sedang meletakkan pijakan-pijakan untuk melangkah mundur dengan penyerahan kedaulatan ekonomi ke tangan pasar (baca: kapitalisme global), termasuk dalam pengelolaan sumber daya manusia. Banyak generasi terancam dan telah kehilangan

masa depannya, dan ini jelas jauh lebih mengerikan dibanding kehilangan kesempatan dalam pemilu atau kalah main saham.

Sama sekali kita tidak menaruh prasangka berlebihan dalam proses interaksi antar bangsa yang sedang terjadi di era ini. Kita punya cita-cita turut menciptakan ketertiban dunia, dan perdamaian abadi, yang berlandaskan keadilan sosial. Dan kita berangkat dari fakta-fakta ketidakadilan yang sudah diamini sebagai keyakinan oleh kalangan yang menganggap liberalisasi ekonomi (penjarahan oleh yang kaya terhadap yang miskin) itu perlu, bahkan sangat penting. Omong kosong ini kemudian diklaim telah diterima sebagai kebenaran mayoritas yang terbukti dari hasil pemilu lalu: tuh kan, rakyat gak anti neoliberalisme.

Pasang Sekejap

Sampai di sini, ucapan seorang politisi PDIP baru-baru ini patut dipertimbangkan. Terlepas bila ada motif berapologis atas posisi partainya terakhir. Inti pernyataan tersebut mengarah bahwa, protes terhadap ketiadaan oposisi formal di parlamen tak akan bermanfaat, bila tidak ditindaklanjuti pengadaan oposisi dengan wujud kongkritnya.

Kita bisa melihat fakta pilihan seluruh partai pengisi kursi DPR RI untuk menjadi bagian dari rezim neoliberal SBY-Boediono adalah fenomena penyurutan, setelah akumulasi era pasang yang berlangsung panjang (sejak 2005) dan membludak singkat di momentum pemilu kemarin.
Dan, ibarat laut, kejadian itu tidak hanya meninggalkan pasir kering yang hampa, tapi juga kolam-kolam yang saling terpisah, atau beberapa saling terhubungkan meski ada yang kritis.
Sampai akhirnya kita kembali pada pertanyaan, bagaimana oposisi di luar parlamen bisa cukup tangguh sehingga layak dijagokan sebagai alternatif oleh rakyat. Bila sebuah alat politik bersama bisa diterima, "insyaallah" kita bisa menyongsong gelombang pasang berikut sebagai momentum kebangkitan rakyat.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

menarik dan bermanfaat sekali nih infonya
du tunggu info selanjutnya
terimakasih

Posting Komentar

untuk teman-teman yg belum punya web or blog pada bagian kolom "BERI KOMENTAR SEBAGAI" : pilih Name / URL, Kolom nama di isi sesuai nama anda dan pada kolom URL kosongkan saja, demikianlah & terima kasih atas partisifasinya

ARSIP

KONSENSUS

BERANDA

PUISI & SASTRA